Apa filosofi hidup Suku Mee, Papua?
Gambar Ilustrasi Filosofi Suku Mee |
Oleh Natalis Tekege)*
Majalah Kribo: Setiap suku bangsa memiliki filosofi hidup yang menuntun mereka untuk menapaki kehidupan. Filosofi itu menjadi pijakan kehidupan untuk dikembangkan agar tetap bertahan, memperoleh pengetahuan, ataupun juga untuk mendidik generasi selanjutnya.
Begitu juga Suku Mee yang memiliki lima dasar filosofi hidup: Dou, Gai, keitai, ekowai, doutou. Sejak dahulu kelima filosofi tersebut secara turun- temurun diajarkan untuk menjadi dasar pijakan bagi generasi selanjutnya.
Rasanya dewasa ini generasi mudah Suku Mee mulai melupakan kelima dasar tersebut. Generasi muda Suku Mee seolah beralih pada peradaban modern dan melupakan identitas dirinya sebagai Orang Mee.
Siapa Suku Mee ?
Secara geografis Suku Mee merupakan kelompok manusia yang mendiami pulau Papua tepatnya di bagian wilayah pegunungan tengah (wilayah “Mepago”). Secarah Administratif, wilayah adat Suku Mee melingkup 4 Kabupaten, yaitu wilayah pegunungan Kabupaten Nabire, Dogiai, Deiyai, dan Paniai. Suku Mee dikenal sebagai Bangsa Melanesia dan ras negroid.
Kata Mee secara harafiah dapat diartikan sebagai Manusia. Jadi jika kata Mee digabungkan dengan kata suku akan berarti Suku Manusia. Itulah sebabnya Suku Mee memandang diri mereka sebagai manusia yang beradap, bedah dengan binatang dan tumbuhan juga materi berupa benda.
Dalam hubungannya dengan suku bangsa lain, Suku Mee pun memandang mereka sebagai manusia. Suku Mee sering menyebut dan menyapa suku bangsa lain dengan kalimat “Okeina Mee kodoo” (mereka juga manusia). Oleh karena itu Suku Mee memandang nilai-nilai kemanusiaan penting dan menjadi utama dalam kehidupan.
Hal ini membuat Suku Mee memandang materi, harta benda sebagai hal nomor ke dua. Jika seseorang melakukan kesalahan atau merusak harta benda, Suku Mee tidak jarang berpandangan bahwa, harta dan sebagainya, bila hilang atau rusak bisa diganti selama manusia itu masih hidup. Tetapi, hanya manusia tidak bisa diganti jika telah tiada” (Mee koukoto akapaka tetii make no natotii).
Bertolak dari kata Mee sebagai manusia inilah melahirkan kelima dasar filosofi tersebut. Karena Suku Mee berpandangan bahwa manusia menjadi tokoh sentral dalam kehidupan, maka manusia harus memiliki pijakan yang bisa diwariskan pada generasi berikut.
Apa itu dou, gai, keitai, ekowai, keitihake, doutou?
Sebelum menjabarkan hubungan ke lima point ini dalam kehidupan sehari-hari Suku Mee, mari kita melihat arti dan makna yang terkandung pada kelima point ini.
Pertama: Kata Dou dalam pengertian sempit berarti “lihat.” Sedangkan, dalam arti luas berarti melihat dengan saksama. Jadi dalam arti luas kata dou menjadi kata kerja. Apapun yang akan dilakukan terlebih dulu harus diamati dengan baik menggunakan mata lahiriah maupun dengan mata akal dan batin.
Kedua: Kata gai dalam arti sempit bermakna pikir. Dalam arti luas, berpikir. Maksudnya setelah melihat, harus dipikirkan apa yang akan dilakukan. Berpikir menggunakan akal atau pun dengan hati (Iman/kepercayan).
Ketiga: Kata Keitai dan Ekowai merupakan kata kerja. Keitai berarti melakukan dan ekowai berarti mengerjakan. Maka secara konseptual kedua kata ini mengacu kepada satu arti sama, yaitu tindakan nyata dalam kehidupan.
Keitai berarti mengacu pada melakukan tindakan spritualitas. Sedangkan ekowai mengacu kepada melakukan hal-hal yang konkrit.
Keempat: Kata ketihake dapat diartikan sebegai setelah itu. Jadi Keitihake ialah kata penghubung atas sebuah perbuatan atau kejadian yang telah dilakukan untuk menantikan hasil atau efek yang ditimbulkan atas peristiwa atau perbuatan yang telah dilakukan.
Kelima: Kata Doutou ini gabungan dari dua kata dasar dou dan tou. Seperti yang dijelaskan di atas Dou artinya melihatdan tou artinya tinggal. Jika kedua kata tersebut digabungkan, maka akan menjadi kata doutou yang artinya tinggal menunggu (besabar).
Dengan demikian jika kita kaitkan dengan empat poin filosofi Suku Mee sebelumnya, maka doutou artinya sabar menunggu hasil, setelah proses dou, gai, keitai, dan ekowai.
Tetapi, dalam kehidupan sehari-hari banyak generasi mudah Suku Mee yang bisanya hanya menyebutkan tiga point, Dou, Gai, dan ekowai. Sebenarnya secara keseluruhan filosofi dasar hidup Suku Mee memiliki lima point seperti yang dijelaskan di atas .
Hal ini bisa dilihat dalam pengucapan atau ungkapan orang tua Suku Mee yang tidak memisahkan antara kata dou, gai, ketai, ekowai dan doutow.
Kata dou dan gai akan berpasangan menjadi dou gai. Sedangkan kata keitai dan ekowai akan berpasangan menjadi keitai ekowai.
Jelas bahwa dalam pelafalanya tidak terdapat kata penghubung antara masing-masing pasangan kata: dou gai, keitai ekowai. Orang tua pada umumnya melafalkan keempat kata tersebut dalam satu kalimat yang koheren.
Dalam praktik berbahasa Mee kata doutou dihubungkan oleh kata penghubung ketihake barulah kata douto ditambahkan. Penambahan kata penghubung ini merupakan penjelasan atau penyempurnaan dari keempat kata sebelumnya.
Dengan demikian kelima poin ini jika diterjemahkan secara langsung akan bermakna Lihat, pikir , lakukan, setelah itu tingal menunggu hasilnya.
Konsekuensi Filosofi Hidup Suku Mee
Konsekuensi positif atas filosofi hidup Suku Mee dapat dibagi menjadi beberapa bagian:
Pertama: Suku Mee memandang nilai-nilai kemanusiaan sebagai yang utama dan memandang alam di sekitarnya sebagai pelengkap kebutuhan hidup. Pandangan ini membentuk relasi kebutuhan manusia dengan alam. Alam dan manusia saling membutuhkan dan saling mempengaruhi (Simbiosis mutualisme)
Alam dipandang sebagai organik hidup karena penyedia sumber makanan. Ia harus dijaga dirawat dan dilestarikan. Bukan sebaliknya manusia harus menguasai alam raya untuk diperkosa dengan rakus.
Kedua: Suku Mee memandang manusia menjadi tokoh sentral dalam kehidupan maka hubungan kekeluargaan sangat terjaga dengan baik. Hal ini membuat, pohon keturunan suatu keluarga Suku Mee dapat digali kembali sampai pada beberapa periode tertentu.
Pada umumnya dalam kehidupan Suku Mee tidak mengenal pepatah 'air susu dibalas air tuba,' tetapi ‘air susu dibalas air susu’ dan ‘air tuba di balas air tuba.’ Jadi ketika seseorang berlaku baik dan benar terhadap orang lain, ia juga akan diperlakuan sama.
Ketiga: Ketika bertindak atau penyelesaian masalah Suku Mee akan menggunakan filosofi dasar hidup tersebut. Persoalan rumit apapun akan dengan muda diselesaikan secara aman dan damai melalui dialog (manawegai).
Keempat: pandangan alam sebagai yang hidup membuat Suku Mee dapat menghargai alam sebagai ciptaan dan pancaran ilahi. Alam harus dilestarikan. Pandangan ini pula yang membuat Suku Mee menerima Agama Kristen tanpa basa basi.
Suku Mee menerima ajaran Kristen (katolik dan protestan) karena ajaran moral dan ketuhanan yang diajarkan agama Kristen menyerupai apa yang dipercaya Suku Mee sebelumnya.
Selain itu bisa dilihat penjelasan diatas Suku Mee selalu menggunakan akal dan iman dalam setiap pertimbangan dan tindakan.
Konsekuensi Negatif
Tetapi pandangan hidup Suku Mee juga mempunya konsekuensi negatif. Jika dikelompokkan, dapat dibagi kedalam beberapa point misalnya sebagai berikut:
Dasar filosofi orang Mee tidak berkembang seperti halnya di Yunani, karena ada beberapa hal yang mempengaruhi jalan pikiran Suku Mee. Seperti halnya pada point pertama kata dou (lihat) tidak dikembangkan secara radikal seperti halnya paham empirisme yang dilakukan para tokoh empirisme. Salah satunya seperti David Hume. Dalam arian Dou (lihat) tidak dikembangkan menjadi mengamati secara empiris dan teliti.
Selain itu kata gai (berpikir) tidak digunakan secara radikal seperti halnya Thales yang pertama kali mempertanyakan, apa bahan dasar terbentuknya bumi? Orang Mee hanya sampai pada tahap berpikir belum melangkah pada tahap bernalar.
Kata keitai ekowai dalam penerapannya tidak dikembangkan sampai kepada metode ilmiah yang diterapkan Auguste compte (1798-1857) untuk memperoleh pengetahuan.
Hal utama yang mempengaruhi keempat pandangan di atas untuk melangkah ke tahap selanjutnya adalah Suku Mee memandang alam raya sebagai alam yang hidup. Akibatnya Suku Mee berpegang teguh pada hal-hal yang mistik atau mitos- mitos tertentu.
Semua itu membatasi ruang berpikir logis Suku Mee. Meskipun berpikir sampai pada tahan mengambil keputusan untuk bertindak, tidak ada satu orang Suku Mee pun yang berani keluar dari mitos-mitos atau hal-hal mistik yang menjadi kepercayaan lokal.
Kedua pengaruh modernisasi dan globalisasi mengubah pandangan Suku Mee menjadi individualitik. Artiannya, pandangan Suku Mee yang memandang manusia sebagai tokoh sentral di alam raya menjadi sempit.
Dahulunya manusia dipandang sebagai tokoh sentral secara universal berubah menjadi individual atau kelompok. Dalam berpolitik, penyelesaian masalah, atau hal apapun, Pertimbangannya bukan lagi Suku Mee tetapi Marga, keluarga, dan daerah asal yang menjadi acuan utama.
Ketiga anak muda Suku Mee dewasa ini akan lebih bangga menguasai budaya modern dari pada budaya dan dasar filosofi kehidupannya. Akhirnya hal-hal positif dalam budayanya mati bersama zaman. Kesalahan terbesar adalah generasi muda Suku Mee tidak menyadari bahwa setiap budaya budaya memiliki dampak negatif dan dampak positif.
Kesimpulan
Setelah melihat pemaparan di atas bukan tidak mungkin apa yang menjadi filosofi dasar hidup orang Mee akan tenggelam bersama zaman. Apa lagi laju arus globalisasi dan modernisasi yang tidak dapat dibendung dan ditambah dengan generasi muda Suku Mee yang lebih berfokus dan bangga pada moderenisasi dan globalisasi.
Pertanyaannya apakah kita(generasi muda Suku Mee) telah menjadikan filosofi dasar hidup Suku Mee “Dou, gai, keitai, ekowai, ketihake, dotou” sebagai pijakan dalam menghadapi kedua arus tersebut? Ataukah kita pun, telah, sedang dan akan hanyut dalam kedua arus tersebut dan bangga dengan hadirnya kedua arus tersebut? Mari kita berpikir dan menjawabnya.
Saran
Pertama generasi mudah Suku Mee harus menjadikan dasar filosofi hidup Suku Mee sebagai pijakan untuk melangkah, sehingga arus globalisasi dan modernisasi tidak mampu memecah belah apa yang tertanam dan diwariskan turun temurun.
Hanya dengan begitu kebersamaan, kekeluargaan, dan berpikir universal atas nama Suku Mee akan terbangun tanpa memandang asal daerah, marga dan keluarga seperti yang sedang terjadi saat ini.
Kedua generasi mudah Suku Mee harus bisa memilah secara tegas antara dampak negative dan positif. Point ini memudahkan kita untuk menerima apa yang baik dari modernisasi dan globalisasi. Menerima dalam artian menerima secara utuh maupun yang dapat kita sesuaikan dengan dasar filosofi Suku Mee.
Seperti halnya orang tua kita dahulu yang menerima secara utuh agama Kristen dan menolak penjajahan.
Ketiga Kelima point filosofi dasar hidup orang Mee diatas perlu untuk dipaham, dijabarkan, dirumuskan, diterapkan, dilestarikan, dan di ajarkan pada generasi mudah berikutnya.
Setiapkali kopi paste tulisan orang di blog lain...
ReplyDeletejangan lupa sertakan link sumber pada akhir postingan..
itu cara etika berinternet yang baik..
kalau terus-terus buat kaya begitu, nanti google bisa kasi hukuman sama blog http://voice-rebeller.blogspot.co.id
terimakasi mas bos..