Grup Mambesak (dalam bahasa Biak Numfor berarti burung Cenderawasih atau burung kuning) menjadi momentum kebangkitan seni dan identitas budaya Papua. Grup yang mempopulerkan lagu-lagu dan tari-tarian rakyat Papua ini berdiri pada 15 Agustus 1978. Markas mereka sekaligus tempat pentas dan kelahirannya adalah di halaman Museum Antropologi Loka Budaya Universitas Cenderawasih Jayapura Provinsi Papua. Sebelum bernama Mambesak, grup ini bernama Manyori yang berdiri pada awal tahun 1970-an. Anggota Mambesak di antaranya adalah Arnold Clemens Ap, Sam Kapissa, Yowel Kafiar, Marthinny Sawaki.
Ide dasar Mambesak adalah mengangkat kesenian rakyat Papua yang berakar pada lagu-lagu dan tari-tarian rakyat yang hidup pada keseharian rakyat Papua. Mereka kemudian menggali lagu-lagu dan tari-tarian rakyat Papua dan menampilkannya dalam bentuk nyanyian dengan peralatan ukulele (gitar kecil), tifa (kendang khas Papua), bass, dan gitar. Pementasan mereka juga diselingi dengan mop (guyonan-goyonan khas Papua) yang dibawakan oleh Arnold Ap. Dalam setiap penampilannya, selain menyanyikan lagu dan menari, Mambesak juga menggunakan logat bahasa Indonesia logat Papua dan menguraikan beberapa unsur-unsur kebudayaan Papua.
Kehadiran Mambesak disambut antusias rakyat Papua yang membayangkan identitas budaya mereka. Kebangkitan budaya Papua yang lama terpendam sempat muncul pada tahun 1970−1980-an ketika Arnold Ap dan Grup Mambesak-nya begitu terkenal di seluruh Papua. Lima volume kaset Mambesak yang berisi reproduksi dan rearrangement lagu-lagu daerah Papua berulang kali habis terjual dan diproduksi kembali. Siaran radio Pelangi Budaya dan Pancaran Sastra yang diasuh oleh Arnold Ap dkk dari Mambesak di Studio RRI Nusantara V Jayapura setiap hari Minggu siang sangat populer.
Kebangkitan identitas budaya Papua melalui kesenian inilah yang dicurigai oleh Pemerintah Indonesia sebagai benih-benih separatisme Papua. Aparat keamanan saat itu, Koppasandha (kini Kopassus) mencurigai gerakan kebudayaan Arnold Ap dan Mambesak adalah benih laten “nasionalisme Papua” dalam “bungkus kultural”. Arnold Ap akhirnya ditembak di pantai Pasir Enam, sebelah timur kota Jayapura pada 26 April 1984, pada saat sedang menunggu perahu bermotor yang konon akan mengungsikannya ke Vanimo, Papua Nugini, ke mana isteri, anak-anak, dan sejumlah teman Arnold Ap telah mengungsi terlebih dahulu pada 7 Februari 1984.
“Kita bernyanyi untuk hidup dahulu, sekarang dan nanti” (Motto Mambesak)
Yameweroooo.
Yamewero yabe women kakerdi.
Yangge yan bake yanake
Yanabayo yamarisen yores ro mangun daya. (Mars Papua, Mambesak)
(Saya tidak mau menjadi budak terus. Biar saya makan kah, tidak kah saya mau berdiri sendiri).
Dalam sebuah pertemuan budaya di Kota Manokwari, Papua Barat pada akhir November 2010, saya merasakan ada kerinduan dari para pegiat seni dan budaya akan sebuah kebangkitan kembali kebudayaan Bangsa Papua.[1] Hanya dengan seni dan budayalah orang Papua bisa menegakkan identitasnya. Kesan yang saya rasakan dalam pertemuan tersebut, jati diri orang Papua terletak pada ekspresi seni dan budaya, yang sayang sekali sering diputarbalikkan sebagai “politik” dan pemberontakan.
Perjalanan seni dan budaya di Tanah Papua penuh dengan kompleksitas yang melibatkan bukan hanya penetrasi politik tapi juga agama dan adat. Kesemuanya dibungkus melalui ekspresi seni untuk menunjukkan identitas diri dan kebudayaan yang ada di Tanah Papua. Pasang surut perkembangan seni di Tanah Papua salah satunya melibatkan campur tangan dari pemerintah dan agama. Bahkan salah seorang sesupuh seni di Kota Manokwari dalam pertemuan budaya yang saya ikuti mengungkapkan pernyataan, “Masuknya pemerintah dan agama yang menghancurkan budaya Papua.”[2] Bagi pemerintah (baca: Belanda dan Indonesia), ketika rakyat Papua menyanyi dianggap ketinggalan zaman, dilarang dan dianggap ekspresi memberontak terhadap negara. Oleh karena itulah perlahan-lahan namun pasti budaya orang Papua hilang.
Salah satu momentum ekspresi seni dan budaya Bangsa Papua adalah munculnya kelompok Mambesak pada 15 Agustus 1978 yang dalam bahasa Biak Numfor berarti Burung Cenderawasih atau burung kuning dengan tokohnya yang kemudian menjadi legenda, Arnold Clemens Ap. Melalui Mambesak inilah lagu-lagu dan tari-tarian daerah Papua dipentaskan oleh Arnold Ap, Sam Kapissa, Demyanus Wariap Kurni, Edy Mofu, Marthiny Md. Sawaki, Thonny W. Krenek dan yang lainnya. Pada saat itulah timbul bayangan akan kebangkitan seni dan budaya Papua seperti yang selalu diusung oleh Arnold Ap dan kawan-kawannya di kelompok Mambesak. Namun, bayangan akan kebangkitan seni dan budaya Papua itu tidak berlangsung lama saat Arnold Ap dibunuh oleh pasukan Koppasandha (kini Kopassus) pada 26 April 1984 di Pantai Pasir Enam.
Kini, setelah 30 tahun lebih, saya menyaksikan kembali bagaimana masyarakat dorang (mereka) kembali bergairah membicarakan Mambesak, meski sebelumnya ekspresi menyanyikan lagu-lagunya terbuka lebar di publik. Gairah tersebut bisa saya rasakan saat membicarakan “gerakan-gerakan sosial” yang telah dilakukan untuk menghadirkan seni dan budaya Papua sebagai jati diri, identitas diri Bangsa Papua. Dan kehadiran Mambesak selalu akan menjadi catatan penting.
Saya merasakan bagaimana ekspresi para pegiat seni ini ketika mereka berbicara tentang lagu dan tari sebagai bagian dari identitas diri mereka. Ekspresi dan pernyataan mereka mengungkapkan sejarah panjang kompleksitas budaya dan kekuasaan di Tanah Papua. “Kitong (kita) mengalami masa dimana tong merasa terancam hidup di republik ini. Pemerintah dong menganggap apa yang tong bicarakan selalu dianggap melawan pemerintah,” ungkap seorang pegiat seni dengan suara bergetar. Baginya, budaya merupakan bagian dari hidup orang Papua yang diekspresikan melalui lagu-lagu dan tari-tarian. Oleh pemerintah (baca: Indonesia), menyanyikan lagu-lagu daerah dinggap menentang pemerintah.
Paper ini berusaha mendiskusikan bagaimana representasi identitas budaya Papua di tengah heterogenitas etnik di Tanah Papua? Bagaimana (politik) identitas budaya yang direpresentasikan oleh kelompok Mambesak? Apakah ada budaya mayoritas, dalam hal ini budaya pantai Biak Numfor yang mendominasi budaya pegunungan Yali misalnya? Bagaimana kemudian Mambesak bisa berkembang menjadi perekat kebangkitan identitas budaya Papua?
Mencari Identitas dan “Nasionalisme” Bangsa Papua
Apa ada identitas budaya Papua, pan Papua yang dibayangkan tersebut? Yang ada mungkin hanya budaya Biak, Asmat, Arfak, Dani, Marind, Ayamaru, Sentani, Yali, dan yang lainnya. Begitu juga dengan seni, dalam hal ini tari dan musik yang sangat terpengaruh oleh kondisi budaya suatu daerah. Arnold Ap sangat menyadari ini. Ia menuliskan, “gerak dasar setiap tarian adat merupakan respons terhadap lingkungan hidup kelompok etnis itu.” Misalkan gerakan kaki tarian Asmat lebih banyak bergoyang di tempat seperti twist, karena mereka berdiam di atas para-para (panggung) di lingkungan rawa-rawa berlumpur. Sebaliknya gerak dasar kaki dalam tarian Biak-Numfor menjejak keras tapi tersendat-sendat karena kebiasaan menari di pantai pulau karang di tepi deburan ombak. (Aditjondro, 2000: 118).
Arnold Clemens Ap |
Heterogenitas etnik yang tinggi dengan masing-masing budaya, adat, dan seni menjadi kompleksitas tersendiri dalam membincangkan identitas budaya di Tanah Papua. Ini ditunjukkan dengan adanya lebih dari 253 bahasa. Masing-masing bangsa memiliki tradisi, konsep agama, struktur sosial dan kondisi geografis yang berbeda-beda. Ini juga termasuk budaya material dan bentuk ekonomi yang sudah tentu berbeda. Terdapat tiga wailyah geografis yang berbeda yang menentukan cara hidup rakyat Papua yaitu daerah pantai yang dihuni oleh nelayan dan pelaut; daerah pegunungan yang padat penduduk dengan iklim yang sehat dihuni oleh para petani; serta daerah tanah rawa yang sangat jarang penduduknya Heterogenitas adalah dasar dari sukubangsa Papua, demikian juga dasar dari Indonesia sendiri. Namun, perbedaan yang paling kentara adalah budaya-budaya di Papua tersebar daripada terpusat seperti yang terlihat pada budaya Jawa dan Bali.
Identitas bagi bangsa Papua sendiri awalnya berarti identitas sekelompok kecil: keluarga, desa kecil atau sekelompok kecil desa-desa. Identitas kelompok kecil atau pribadi itu didefinisikan melalui bahasa, tradisi mengenai keluarga, agama, budaya dan cara hidup secara umum yang biasanya berbeda dengan tetangganya. Masing-masing bangsa di tanah Papua mempunyai identitasnya masing-masing, yang ditunjukkan dengan menyatakan dirinya adalah manusia, orang-orang yang kemudian ditambahkan dengan nama desa atau sungai asal mereka. Pada tahun 1900 mulai berkembang identitas umum orang Papua yang kemudian pada tahun 1898 melalui pemerintah kolonial Belanda membentuk pusat pemerintahan di Manokwari. Melalui misi Kristen, masuklah para pengajar dan penginjil di pantai utara. Kontak yang terus menerus dengan orang asing menumbuhkan identitas Papua melebihi yang mereka alami sebagai kelompok kecil sebelumnya. Agama, dalam hal ini agama Kristen, ikut berperan dalam menumbuhkan identitas budaya Papua meskipun identitas sekelompok kecil Papua tetap utuh.
Identitas ke-Papuan-an tumbuh beriringan dengan sejarah pergolakan kekuasaan yang terjadi di Tanah Papua. Salah satu momen penting pentas kekuasaan terhadap tanah Papua terjadi pada tahun 1940-an hingga 1960-an. Saat itu terjadi Perang Dunia II yang berimpikasi kepada proses penyerahan kedaulatan Belanda atas Indonesia termasuk di dalamnya Papua. Proses peralihan kekuasaan di Papua berujung kepada Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) Juli−Agustus 1969 yang menyatakan Papua menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Namun demikian, sejarah Papua setelah 1969 menunjukkan bahwa hasil Pepera itu justru menjadi salah satu akar konflik yang berkepenjangan.
Klaim Indonesia terhadap Papua berdasar pada legitimasi hukum PBB yang mengesahkan Pepera 1969 dan menyatakan Papua bergabung ke Indonesia. Namun, pengalaman rakyat Papua dan beberapa klaim penelitian menyebutkan pelaksanaan Pepera 1969 penuh dengan rekayasa dan intimidasi, atau hanya sebagai lelucon. Integrasi Papua ke Indonesia hanya sebatas integrasi wilayah, politik, ekonomi, dan keamanan. Integrasi Papua Barat ke dalam wilayah NKRI dilakukan melalui proses yang tidak benar dan tidak adil. Masalah Papua ini masalah sejarah integrasi yang tidak benar. Masalah status politik rakyat Papua yang dikhianati, diabaikan dan dihilangkan. Masalah pelanggaran HAM yang sampai saat ini masih berlangung. Masalah kegagalan pembangunan di Tanah Papua karena pembangunan di Tanah Papua dilaksanakan dengan curiga dan pendekatan keamanan yang berlebihan. (Yoman, 2010: 104−105)
Bayangan akan sebuah negara Papua Barat yang merdeka sulit untuk dipadamkan hingga kini. Saya kira jika kita jujur membuka hati terdalam rakyat Papua, bayangan akan negara yang merdeka dan berdaulat tidak akan pernah mati oleh apapun. Beberapa catatan sejarah menguatkan bayangan memiliki negara sendiri ini. Pada 5 April 1961, dengan bantuan Pemerintah Belanda, telah dibentuk sebuah dewan rakyat, Nieuw Guinea Raad, dengan memilih orang-orang Papua duduk di parlemen untuk merancang dan melaksanakan sebuah negara merdeka. Pada 19 Oktober 1961, Dewan Rakyat Papua ini melaksanakan Kongres Nasional I Papua di Hollandia (kini Jayapura) dengan hasil menetapkan lagu kebangsaan adalah “Hai Tanahku Papua”, bendera nasional adalah “Bintang Kejora” dan nama resmi negara adalah “West Papua”. Hari kemerdekaan diputuskan pada 1 Desember 1961.
Lebih daripada itu, “nasionalisme” Papua terkonstruksi oleh beberapa faktor. Pertama, kekecewaan sejarah terhadap proses integrasi ke Indonesia. Kedua, elite Papua yang merasakan persaingan dengan pejabat-pejabat Indonesia sejak penjajahan Belanda. Ketiga, pembangunan ekonomi dan pemerintahan yang timpang dan semakin menunjukkan perasaan berbeda (sense of difference). Keempat, banyaknya pendatang ke Papua yang mendominasi kehidupan ekonomi politik yang semakin memperbesar perasaan termarginalisasi orang Papua di daerah sendiri (Chauvel 2005; Widjojo dkk, 2009: 9).
Perspektif lainnya yang saling melengkapi mengungkapkan bahwa “nasionalisme etnik” Bangsa Papua lahir selain memang ada kesadaran akan etnik Papua, juga karena resistensi terhadap kekuasaan rezim otoritarian Orde Baru dan permainan relasi kekuasaan internasional terhadap Papua. Di bawah Orde Baru, untuk pertama kali dalam sejarah, Papua mengalami suatu kolonialisme yang bukan cuma menyerap sumber daya alam ke wilayah lain, tapi juga memperkenalkan pembantaian manusia oleh aparat negara. Dalam kaitan itu, ada permainan dunia internasional terhadap Papua. Yang terakhir ini merujuk pada peranan Belanda, Indonesia, PBB dan Amerika Serikat yang akhirnya melahirkan kompromi Perjanjian New York 1962 dan Pepera (Penentuan Pendapat Rakyat) 1969. Amerika, dengan obsesi Perang Dingin kala itu, membantu Presiden Soekarno menuntut hak atas Irian Barat. Indonesia yang sudah mendapat angin ketika itu dengan bebas merekayasa dan memanipulasi Pepera 1969 dengan memperdaya 1026 wakil Papua.
Resistensi terhadap baku tipu (tipu muslihat) itulah yang kemudian disuarakan oleh Bangsa Papua melalui berbagai bentuk ekspresi demonstrasi, protes, dan penulisan sejarah pengalaman dan kekerasan yang mereka alami. Oleh negara (baca: pemerintah Indonesia), sejarah pengalaman rakyat Papua selalu dilekatkan menjadi sebuah kata yang begitu sakti yaitu: separatis. Segala macam ekspresi identitas ke-Papua-an selalu dikambinghitamkan menjadi gerakan ekstrimis, pro-merdeka dan dikaitkan dengan OPM (Organisasi Papua Merdeka). Padahal dibalik historiografi kambing hitam terhadap Papua, sebaiknyalah kita menengok sejarah panjang Papua masuk menjadi bagian NKRI. Di dalamnya penuh pergolakan antara Belanda dan Indonesia. Nasionalisme dan historiografi Papua pada akhirnya adalah pentas ketegangan antara Indonesia dan Belanda yang tidak melibatkan sama sekali rakyat Papua. Penulisan historiografi Papua juga didominasi para nasionalisme Indonesia yang menyingkirkan nasionalisme ke-Papua-an yang merupakan identitas politik yang dibentuk oleh pengalaman kolonial Belanda juga dengan kepentingannya untuk mempertahankan kekuasaannya. Identitas ke-Papua-an pada pengalaman masa kolonial inilah yang dikonstruksi sebagai antitesis nasionalisme ke-Indonesia-an oleh rakyat Papua.
Nasionalisme ke-Indonesia-an yang diterapkan di Papua bernafaskan militeristik. Ini diterjemahkan melalui DOM (Daerah Operasi Militer) maupun rangkaian panjang kekerasan dan kebiadaban yang menimpa rakyat Papua sebagai bentuk dehumanisasi, tidak menganggap rakyat Papua sebagai manusia. Nasionalisme Indonesia menyatakan harga mati untuk NKRI. Tapi, dibalik “politik NKRI” dan nasionalisme, terkandung nafas militerisme yang kemudian merespon protes rakyat Papua terhadap kebijakan negara yang memarginalalkan mereka, yang membuat kitorang tra maju-maju (kita rakyat Papua tidak maju-maju) dengan pendekatan keamanan dan kekerasan. Beberapa kasus penyiksaan aparat terhadap rakyat Papua menjadi contoh yang gamblang dan disaksikan publik dengan jelas. Kekerasan politik dengan pendekatan keamanan ini justru sering diklaim oleh pihak militer sebagai usaha mulia untuk mempertahankan keutuhan NKRI melawan kelompok separatis yang ingin keluar dari NKRI. Historiografi Papua pada akhirnya menjadi legitimasi negara Indonesia plus narasi heroik dan patriotik dari militer.
Sejarah panjang militeristik, kekerasan dan dehumanisasi rakyat Papua inilah yang memantik gerakan-gerakan perlawanan anti-nasionalisme Indonesia, antitesis ke-Indonesiaan yang mengakar kuat dan mempunyai sejarah panjang di Tanah Papua. Aditjondro (2000: 14−32) mengungkapkan setidaknya ada lima tonggak penting momen-momen nasionalisme Papua hingga 1980-an. Pada tahun 2000-an melalui Kongres Rakyat Papua II di Jayapura, kemudian muncullah apa yang disebut Presidium Dewan Papua (PDP) hingga gugurnya pimpinannya Theys Eluay.
Cikal bakal terbentuknya organisasi yang kemudian sering disebut OPM (Organisasi Papua Merdeka) berawal dari Manokwari pada 26 Juli 1965. Adalah Johan Ariks dan Mandatjan bersaudara (Lodewijk dan Barends Mandatjan) serta Awom bersaudara (Fery dan Perminas Awom) yang menjadi pimpinan militer bagi bekas anggota PVK, Batalyon Papua, basis kekuatan militer dari kelompok perlawanan ini. Ariks dkk melakukan pemberontakan bersenjata dengan menyerang pos tentara di Arfai. Gerakan mereka kemudian menyebar hingga ke seluruh daerah kepala burung (kini menjadi bagian Provinsi Papua Barat).
Ariks yang saat itu sudah berusia 75 tahun sebelumnya adalah pimpinan partai politik bernama Persatuan Orang New Guinea (PONG) yang memang berbasis di Manokwari dan beranggotakan orang-orang Arfak, dimana Ariks dan Mandatjan bersaudara adalah asli suku bangsa Arfak. Sementara Awon bersaudara adalah dari suku bangsa Biak. Tujuan partai ini adalah mencapai kemerdekaan penuh bagi Papua Barat. Gerakan perlawanan ini bertahan dua tahun namun menjadi momentum bagi gerakan-gerakan berikutnya.
Pada 1 Juli 1971 diproklamasikan apa yang disebut dengan negara Papua Barat dengan gambaran batas-batas wilayah yang tegas; dari Numbai (Jayapura) sampai ke Merauke (poros Utara−Selatan), dari Sorong sampai Balim (Pegunungan Bintang) adalah sumbu Barat−Timur dan dari Biak sampai ke Pulau Adi (pulau-pulau lepas pantai mewakili belahan utara dan selatan). Pencetusnya adalah mantan tentara didikan Indonesia, Seth Jafet Rumkorem, anak dari Lukas Rumkorem, pejuang pro-Indonesia (Merah Putih) dari Biak yang mendirikan Partai Indonesia Merdeka pada Oktober 1949.
Berikutnya adalah aksi dari enam orang pegawai negeri di Kota Serui Kabupaten Yapen Waropen pada 3 Desember 1974. Mereka menandatangani “Pernyataan Rakyat Yapen Waropen” yang isinya menghendaki persatuan bangsa Papua dan Samarai (di ujung daratan Papua Nugini) sampai ke Sorong yang 100% merdeka di luar Republik Indonesia.
Kematian tokoh budayawan dan seniman Papua, Arnold Clemens Ap yang ditembak oleh satuan Kopassandha (kini Kopassus) pada 26 April 1984 di pantai Pasir Enam, sebelah timur Jayapura semakin menambah sejarah panjang kejahatan terhadap kemanusiaan di Papua. Arnold Ap, Sam Kapissa, Eddy Mofu dkk melalui Grup Mambesak menjadi simbol kebangkitan kebudayaan Papua melalui tarian dan lagu-lagu daerah Papua. Namun oleh Pemerintah Indonesia, gerak-gerik Arnold Ap dkk di Grup Mambesak dianggap mencurigakan. Gerakan kebangkitan kebudayaan Papua hanyalah simbol suatu “bungkus” kultural bagi “bahaya laten” nasionalisme Papua. Proklamasi negara “Melanesia Barat” juga dilakukan oleh Tom Wanggai di Stadion Mandala Jayapura pada 14 Desember 1988. Tom Wanggai adalah cendekiawan Papua asal Serui (Aditjondro, 2000: 23−29).
Pada tahun 2000 muncullah Presidium Dewan Papua (PDP), organisasi yang lahir dari Kongres Rakyat Papua II di Jayapura. PDP memperjuangkan pelurusan sejarah Papua dan hak-hak dasar masyarakat Papua. Namun, kematian pimpinan PDP Theys Eluay menjadi titik balik perjuangan PDP dan memupuk kembali kebencian rakyat Papua terhadap pendekatan keamanan dan “budaya teror” yang diciptakan oleh negara Indonesia melalui tangan-tangan militer.
Lantunan Ukulele Mambesak
Sebelum terkenal dengan nama Mambesak[3], cikal bakal awalnya adalah sebuah grup band dengan nama Manyori (burung nuri) yang berdiri di Kampus Uncen (Universitas Cenderawasih) Jayapura dan mulai berkiprah di awal tahun 1970-an. Awalnya grup ini beranggotakan Arnold Ap yang ketika itu menjadi Kepala Museum Uncen, Sam Kapissa dan Jopie Jouwe. Pada tahun 1972, Band Manyori mengiringi lagu-lagu rohani di Gereja Harapan, Abepura yang kemudiang menggugah mereka untuk mulai mengembangkan lagu-lagu rohani dalam bahasa daerah mereka, dalam hal ini adalah bahasa Biak Numfor. Jelas saja hal ini awalnya mendapat tentangan dari tetua-tetua adat karena saat misionaris membawa pengaruh agama Kristen ke Papua, mereka mengkafirkan lagu, seni ukir, dan seluruh aspek kebudayaan di Papua, khususnya di kawasan Teluk Cenderawasih.
Grup Mambesak tercatat berdiri pada 15 Agustus 1978 dengan mulai mengisi acara hiburan lepas senja di halaman Museum Loka Budaya (Museum Antropologi) Universitas Cenderawasih di Jayapura. Nama Mambesak dipilih baru ditetapkan mengganti Manyori pada penetapan pembentukan pengurus Mambesak. Nama ini dipilih karena dalam bahasa Biak-Numfor, mambesak berarti burung kuning atau burung cenderawasih, dihormati oleh semua suku-suku di seluruh Papua Barat sebagai mahkota kepala suku. Sedangkan Manyori yang berarti burung nuri dalam bahasa Biak-Numfor hanya merupakan burung suci bagi orang Biak–Numfor saja. Pada tanggal 17 Agustus 1978, Mambesak menampilkan lagu-lagu dan tari-tarian rakyat Papua hasil galian mereka di aula Uncen. Sejak saat itulah Mambesak kemudian secara rutin menyanyikan lagu dan tari-tarian budaya Papua di halaman museum Uncen, yang dijuluki sebagai “Istana Mambesak”.
Pada rapat pembentukan pengurus Mambesak tanggal 23 Agustus 1978, Arnold Ap terpilih sebagai koordinator. Marthinny Md. Sawaki sebagai sekretaris. Sam Kapissa sebagai penanggungjawab musik. Thonny W. Krenek sebagai penanggungjawab tari. Demianus Wariab Kurni sebagai penanggungjawab teater. Sampai pementasan terakhirnya yaitu pada tanggal 29 November 1983 di Kantor Gubernur Papua Barat hanya trio Arnold Ap, Mathinny Md. Sawaki dan Thonny W. Krenek yang bertahan menjadi pengurus Mambesak. Sam Kapissa kembali ke Biak dan kemudian aktif mengarang lagu berbahasa Indonesia dan Biak serta mendirikan kelompok tari nyanyi Sandia. Sedangkan Demi Kurni di awal 1982 memisahkan diri dari Mambesak dan bersama Ausgust S. Ap, Sophie Patty, D. A. Rumbewas dan Athen Tanaty mendirikan Teater Kristen Jayapura.
Awalnya grup Mambesak memang didominasi oleh pemuda Papua yang berasal dari kawasan Teluk Sairera (Teluk Cenderawasih), terutama adalah kebudayaan Biak Numfor tempat asal Arnold Ap dan Sam Kapissa. Namun, seiring dengan berkembangnya grup ini, mereka kemudian merekrut anggota yang berasal di luar Biak Numfor seperti Marthiny Sawaki (Waropen), Thony Wolas Krenek (Sorong) dan mulai aktif untuk menggali lagu-lagu, musik dan tari di luar dari kebudayaan Teluk Cenderawasih.
Media dalam hal ini adalah siaran radio adalah salah satu yang melambungkan nama Mambesak, terutama koordinatornya yang mempunyai talenta dalam berkesenian, Arnold Ap. Adalah Ignatius Suharno, ketua Lembaga Antropologi Universitas Cendrawasih pada 1978 memberikan kepercayaan kepada Arnold Ap untuk menjadi penanggungjawab siaran Pelangi Budaya dan Pancaran Sastra di RRI (Radio Republik Indonesia) Studio Nusantara V Jayapura. Acara ini berlangsung setiap minggu siang, dibawakan oleh Arnold Ap dengan bendera Lembaga Antropologi Uncen. Program ini mendapat sambutan yang antusias dari masyarakat Papua. Kunci keberhasilan siaran yang diampu Arnold Ap, Thony Krenek dan Constan P. Ruhukail adalah; penggunaan bahasa Indonesia logat Papua; pokok-pokok uraian tentang unsur-unsur kebudayaan Papua serta hal-hal aktual lainnya; selingan lagu-lagu rakyat serta mop-mop (cerita lucu) yang dibawakan oleh pembawa acara yang adalah anggota Mambesak.
Selain media siaran radio, Mambesak begitu banyak dikenal juga karena penjualan lima volume kaset rekaman yang berisi lagu-lagu daerah Papua. Hasil dari penjualan kaset rekaman inilah yang menghidupi grup ini. Usaha merekam lagu-lagu daerah Papua mulai dilakukan oleh grup Mambesak pada tahun 1980. Promosi kaset ini juga dilakukan oleh Arnold Ap dan kawan-kawannya di Mambesak selama siaran Pelangi Budaya dan Pancaran Sastra di RRI Nusantara V Jayapura.
Pertunjukan Mambesak sendiri berlangsung berpusat di wilayah Port Numbay (Jayapura) daerah-daerah lainnya di Papua. Pada hari-hari tertentu, Mambesak tampil dalam acara panggung gembira di halaman RRI yang selalu dipadati oleh pengunjung. Grup Mambesak juga pernah tampil di Biak dan Nabire pada tahun 1981. Instrumen yang mereka gunakan selama pertunjukan adalah tifa, suling, gitar dan ukulele. Arnold Ap selain sebagai penyanyi utama dan menceritakan mop, secara bergantian ia akan memainkan gitar dan memetik ukulele. Para penyanyi Mambesak menggunakan kostum berwarna kuning coklat seperti jenis Cenderawasih yang populer di pantai utara. Sedangkan para penari memakai cidoko (cawat) atau rok rumbai-rumbai dengan dekorasi pada tubuh, sesuai dengan kelompok etnis yang mereka peragakan gerak dasar tarinya.
Identitas yang “Dibayangkan”: Kompleksitas Mambesak
Lalu, (politik) identitas budaya Papua seperti apa yang ingin direpresentasikan oleh Mambesak? Apakah ada identitas budaya Papua itu? Apakah tidak identitas budaya Biak-Numfor, Asmat, Wamena, Sentani dan yang lainnya? Mengapa Papua pantai tidak Papua pegunungan? Lalu, mengapa Mambesak bisa diterima menjadi representasi dari kebangkitan identitas kultural Papua? Atau hanya kebangkitan identitas kultural salah satu suku bangsa saja (dalam hal ini Biak Numfor dan kebudayaan-kebudayaan di Teluk Cenderawasih)?
Hadirnya Mambesak sebagai produk budaya urban−perkotaan di Port Numbay (Jayapura) juga sebuah kompleksitas yang menyisakan pertanyaan, apakah representatif mewakili identitas Papua? Atau hanya identitas Papua urban? Bagaimana dengan identitas muslim Papua? Atau identitas hibrid Papua?
Macx Binur (2005) dalam sebuah laporannya menuliskan, musik, lagu dan tari adalah spirit manusia Papua, dengan itulah mereka berbicara. Menurutnya, untuk mengerti kekuatan musik dan tari di Papua Barat, dibutuhkan pemahaman tentang perjuangan demi identitas orang Papua. Dalam tekanan mendalam, musik dan tari menjadi bagian yang menggelorakan jati diri Papua, suatu identitas yang selama ini berusaha diberangus. Tetapi segala ekspresi yang mencerminkan identitas sejati orang papua justru dilarang. Pemerintah Indonesia seolah tidak menghendaki seorang dengan diri “Papua”, melainkan seorang “Irian” yang loyal. Dalam kenyataannya, “diri Irian” hanyalah khayalan dan identitas sesungguhnya tak pernah beranjak dari diri seorang “Papua”.
Setiap lagu dan tari memancarkan keyakinan dan harga diri seorang Papua. Untuk memahaminya, kita harus menyelami ke dalam lagu dan tari itu sendiri, dan kita akan mulai mengerti sesuatu tentang Papua. Lewat lagu kebudayaan diangkat, dan hidup rakyat dimuliakan. Lirik dan ragam yang memuja misteri serta kemolekan alam Papua, menyatakan kembali legenda dan tradisi, memberikan pengetahuan dan kearifan, juga ratapan, tawa, dan kegalauan. Berbisik tentang keseharian hidup, perjuangan serta harmoni kebersamaan. Lagu menjadi lem perekat jiwa, spirit, dan mengobarkan kembali identitas melalui tradisi oral. Sebagaimana hidup rakyat, setiap kata lahir dari palung hati mereka, memancarkan hasrat personal terhadap situasi sekelilingnya.[4]
Lagu-lagu Mambesak selain berisi protes sosial seperti lagu “Mars Papua” yang dikutip di awal artikel ini, juga memuat syair tentang kecintaan dan kekaguman terhadap alam Papua. Namun menurut Macx Binur (2005), bagi orang Papua, lagu-lagu yang dinyanyikan oleh Mambesak penuh makna karena dinyanyikan dalam bahasa tanah (asli) dan dengan dialek maupun cara yang khas masing-masing suku. Salah satu lagu rakyat Biak yang dinyanyikan Grup Mambesak berjudul Awin Sup Ine menyatakan rasa bangga pada alam Papua:
Orisyun isew mandep fyarawriwek
Nafek ro masen di bo brin mandira
Napyumra sye napyumda ra nadawer
Makamyun swaro beswar bepondina
Reff:
Awino kamamo sup ine ma
Yabuki mananis siwa muno
Yaswar I na yaswar I sof fioro
[Dalam cahaya gemilang, sinar mentari melukis keindahan di langit,menggelorakan pandangan & perasaan saat ini, tak ada yg dapat menolong, kecuali dengan mengingat kembali peristiwa manis masa lalu dan menghayati rasa cinta yang mengikat kita pada tanah ini]
Kebangkitan budaya Papua yang coba disemaikan oleh Mambesak sebenarnya dipicu dari ancaman kepunahan salah satunya disebabkan penetrasi agama kristiani yang menginjilkan orang Papua dan memberangus budaya lokal orang Papua. beberapa seni budaya Papua mengalami penaklukan karena dianggap sebagai artikulasi paham animis, bahkan disebut kafir (misalnya seni Wor Biak). Upacara tradisi kultural dalam skala besar hanya mampu bertahan hingga tahun 1950. Perkembangan selanjutnya, Katholik dan Protestan saling berlomba dalam merebut wilayah dan umat (manusia Papua) untuk di-Kristenkan berdasarkan theologi barat. Misi ini disertai dengan penerapan larangan-larangan kepada masyarakat untuk tidak mengekspresikan seni dan budayanya. Pengkaplingan wilayah pendudukan agamapun terjadi di Papua, dimana Kristen Protestan mendapatkan jatah meliputi hampir sebagian daerah pesisir pantai utara dan pinggiran pegunungan. Sedangkan Kristen Katolik merambah wilayah pegunungan tengah dan selatan hingga sebagian kepala burung, berdampingan dengan Islam yang berkembang di kepulauan Raja Ampat dan Fakfak (Binur, 2005).
Thony Krey, yang memperoleh kesempatan tugas belajar di Universitas Cendrawasih (Uncen) menceritakan pengalamannya bersentuhan dengan grup Mambesak. Sebagai salah satu saksi sejarah Mambesak, ia mengakui bahwa kelahiran awalnya adalah dari Ikatan Keluarga Biak Numfor dengan Arnold Ap yang paling menonjol di dalamnya. Para mahasiswa yang tergabung dalam ikatan keluarga tersebut rata-rata berbakat memainkan alat musik dan menciptakan lagu-lagu daerah yang hebat. Dari sinilah muncul keinginan mendirikan grup musik yang sebelumnya bernama Manyori.[5]
Setelah Manyori dikenal, maka muncullah tawaran dari orang-orang Biak yang ada di Jayapura untuk mengisi acara-acara, salah satunya adalah acara pernikahan adat. Grup Manyori saat itu diminta untuk mengisi acara dengan menyanyikan lagu-lagu daerah Biak Numfor. Pada awalnya, kehadiran Manyori dalam pernikahan adat ini ditentang oleh tetua-tetua adat, namun lambat tapi pasti mereka kemudian bisa menerima grup Manyori menyanyikan lagu-lagu daerah Biak Numfor dan Serui.
Thony Krey mengakui sempat beberapa kali bermain-main ke Jurusan Antropologi dan menyaksikan kiprah dari Arnold Ap dan grup Mambesak-nya. Memang lagu-lagu yang mereka mainkan pada awalnya adalah lagu-lagu dalam Bahasa Biak saja. Setelah Mambesak berkembang dan dikenal masyarakat Papua di Jayapura, mereka kemudian melebarkan sayapnya untuk menggali kembali lagu-lagu daerah dan tarian di luar kebudayaan Biak. Kritik dari Ignatius Suharno, kepala Lembaga Antropologi Uncen, bahwa Mambesak jangan hanya Biak sentris direspon oleh Arnold Ap dan kawan-kawan. Mereka kemudian mulai merekrut anggota baru seperti Yuslina Monim, Weles Krenek, Marthiny Sawaki (Waropen), dan daerah lainnya di Papua.
Upaya Arnold Ap dan kawan-kawannya di Mambesak untuk menggali seni musik dan tari-tarian Papua diwujudkan dengan mengisi liburan mahasiswa untuk pulang ke kampung halaman untuk mencari lagu dan tari-tarian untuk kemudian diarangement, di tata kembali, dikembangkan, dikemas sebagai materi pementasan Mambesak. “Arnold Ap biasanya akan menugaskan teman-temannya untuk mencari lagu di kampung dan membawanya ke Uncen. Kemudian nanti bersama-sama mereka akan menunjukkan lagu-lagu atau tari-tarian yang didapatnya dari kampung. Arnold dan Sam (Kapissa) biasanya akan melihatnya, menyimaknya dengan serius sambil ukulelenya sesekali bersuara,” kisah Thony Krey.[6]
Di dalam grup Mambesak sendiri, ada istilah turun ke kampung bagi anggota-anggotanya untuk mencari lagu-lagu daerah. Kemudian sesampainya di Uncen, setiap anggota akan menyanyikan lagu-lagu yang didapatnya dari kampung dan memeragakan gerakan-gerakan tari. Pada saat itulah Arnold Ap ditemani oleh Sam Kapissa akan merekam lagu-lagu tersebut dan diaransemen ulang. Eddy Mofu bertugas sebagai teknisi. Alat yang digunakan untuk merekam lagu-lagu pada saat itu sangatlah sederhana dengan tape recorder biasa. Setelah selesai merekam, Eddy Mofu biasanya akan menunjukkan hasilnya untuk kemudian diaransemen kembali oleh Arnold Ap, Sam Kapissa dan anggota Mambesak lainnya. Secara bergantian, Arnold Ap dan Sam Kapissa akan memainkan melodi gitar untuk aransemen lagu tersebut. Eddy Mofu akan memainkan ukulele dan anggota lainnya mengikuti dengan memainkan tifa secara bergantian dan bass.
Arnold Ap adalah pemain gitar melodi yang halus sekali, selain bermain ukulele dan tentunya membawakan mop-mop Papua yang memang menjadi keahliannya. Pada suatu kesempatan Arnold Ap mengungkapkan, “Mungkin kamu berpikir saya ini sedang melakukan hal bodoh, tapi inilah yang saya pikir dapat saya lakukan untuk rakyat, sebelum saya mati.”[7] Bagi Arnold Ap dan Mambesak, dengan bernyanyi kita memberikan spirit pada hidup. Jika tidak ada nyanyian, juga tidak ada kehidupan.
0 komentar:
Post a Comment