Sehabis selesai bangku SMA, aku membulatkan tekad melanjutkan ke perguruan tinggi di Jawa. Kebetulan ada sodara kuliah di Jawa. Ada hal membuatku tertarik melanjutkan studi di Jawa. Alasan aku memilih kuliah di Jawa, karena ingin menambah pengalaman. Aku merasa harus mencari pengalaman lebih banyak lagi.
Setiba di Jawa, aku melihat banyak anak sekolah, terutama di tingkat sekolah menengah atas (SMA), pulang sore pukul 15.00-17.00. Padahal, di Papua pelajar pulang pukul 12.00 atau paling lambat pukul 14.00. Ada hal yang membuatku penasaran. Lalu aku bertemu teman sebangku saat kuliah yang bertanya banyak tentang Papua.
Mereka sangat ingin tahu tentang Papua. Mereka bertanya dari hal-hal masuk akal hingga tidak masuk akal. Aku kadang merasa minder, takut, bahkan marah ketika mereka mengatakan Papua masih terbelakang dan kurang mampu. Bahkan mereka menyebut kehidupan di Papua sangat primitif.
Lalu mereka berinteraksi memakai bahasa daerah. Aku penasaran. Aku bertanya, “Mengapa kalian memakai bahasa daerah di dalam ruang kelas dan di luar kelas? Apakah kalian tidak dilarang semenjak di bangku sekolah dasar hingga sekolah menengah atas ketika berbahasa daerah?”
Mereka menjawab, “Kami di sekolah diajari bahasa daerah. Bahkan bahasa daerah sudah ada dalam kurikulum sebagai materi pendidikan.“
Aku terkejut. Aku membandingkan dengan kurikulum yang diterapkan di Papua.
Lalu aku bertanya kepada adik Amison. Dia sudah menetap lama sejak SD hingga kuliah di Jawa. Orang tuanya juga menempuh pendidikan di Jawa. Dia bercerita mengenai pengalaman hidup sejak SD hingga kuliah di Jawa. Dia semenjak SD hingga SMA selalu diajari bahasa Jawa. Meskipun dia orang Papua, wajib mengikuti mata pelajaran bahasa Jawa.
Mengapa di Papua tidak pernah diajarkan bahasa daerah? Bahkan kalau kami menggunakan bahasa daerah Papua di sekolah, kami dianggap kolot, bahkan dihukum oleh guru.
Setiba di Jawa, aku melihat banyak anak sekolah, terutama di tingkat sekolah menengah atas (SMA), pulang sore pukul 15.00-17.00. Padahal, di Papua pelajar pulang pukul 12.00 atau paling lambat pukul 14.00. Ada hal yang membuatku penasaran. Lalu aku bertemu teman sebangku saat kuliah yang bertanya banyak tentang Papua.
Mereka sangat ingin tahu tentang Papua. Mereka bertanya dari hal-hal masuk akal hingga tidak masuk akal. Aku kadang merasa minder, takut, bahkan marah ketika mereka mengatakan Papua masih terbelakang dan kurang mampu. Bahkan mereka menyebut kehidupan di Papua sangat primitif.
Lalu mereka berinteraksi memakai bahasa daerah. Aku penasaran. Aku bertanya, “Mengapa kalian memakai bahasa daerah di dalam ruang kelas dan di luar kelas? Apakah kalian tidak dilarang semenjak di bangku sekolah dasar hingga sekolah menengah atas ketika berbahasa daerah?”
Mereka menjawab, “Kami di sekolah diajari bahasa daerah. Bahkan bahasa daerah sudah ada dalam kurikulum sebagai materi pendidikan.“
Aku terkejut. Aku membandingkan dengan kurikulum yang diterapkan di Papua.
Lalu aku bertanya kepada adik Amison. Dia sudah menetap lama sejak SD hingga kuliah di Jawa. Orang tuanya juga menempuh pendidikan di Jawa. Dia bercerita mengenai pengalaman hidup sejak SD hingga kuliah di Jawa. Dia semenjak SD hingga SMA selalu diajari bahasa Jawa. Meskipun dia orang Papua, wajib mengikuti mata pelajaran bahasa Jawa.
Mengapa di Papua tidak pernah diajarkan bahasa daerah? Bahkan kalau kami menggunakan bahasa daerah Papua di sekolah, kami dianggap kolot, bahkan dihukum oleh guru.
0 komentar:
Post a Comment