Yesus mengkhotbahkan kesetaraan manusia di hadapan
Allah; Dia mengkhotbahkan keadilan; Dia mengajarkan kesederhanaan dan
kepedulian pada yang hina. Dia mendatangi perkampungan kumuh, tempat pelacuran,
dan rumah orang lepra. Dia obrak-abrik para pedagang uang di pelataran Bait
Allah dan menghardik mereka sebagai penyamun. Dia disalib oleh Gubernur
Palestina yang bekerja sama dengan pemuka-pemuka agama, Farisi penguasa Bait
Allah, dengan tuduhan sebagai pemberontak.
Ya, Dia memang memberontak. Tapi bukan hanya pada
pemerintahan lalim. Dia menggugah kaum tertindas memberontak pada tatanan
sosial-ekonomi yang korup dan menindas; pada tatanan sosial-ekonomi yang
bertumpu pada penghisapan dan pemerasan kaum lemah.
Ia juga memberontak terhadap ritual-ritual formal
penuh kemunafikan; liturgi yang kosong dari kepedulian terhadap kaum lemah.
Ingat ketika Yesus bersabda: “Ahli-ahli Taurat itu dan orang-orang Farisi telah
menduduki kursi Musa. Sebab itu ikutilah dan lakukan segala sesuatu yang mereka
ajarkan kepadamu, tetapi janganlah kamu turuti perbuatan-perbuatan mereka,
karena mereka mengajarkannya tetapi tidak melakukannya. Mereka mengikat
beban-beban berat, lalu meletakkannya di atas bahu orang, tetapi mereka sendiri
tidak mau menyentuhnya. Semua pekerjaan yang mereka lakukan hanya dimaksud
supaya dilihat orang; mereka memakai jumbai yang panjang; mereka suka duduk di
tempat terhormat dalam perjamuan dan di tempat terdepan di rumah ibadat; mereka
suka menerima penghormatan di pasar dan suka dipanggil Rabi” (Matius 23: 1-7).
Yesus menentang penghisapan manusia oleh manusia.
Bagi-Nya semua manusia setara di mata Allah. Tidak boleh ada yang mengambil
manfaat secara keji dari orang lain karena kedudukannya. Apalagi dengan cara
menindas. Semua manusia adalah saudara. Ingatlah Yesus bersabda: “Janganlah
kamu disebut rabi; karena hanya satu Rabimu dan kamu semua adalah saudara”
(Mat. 23: 8).
Sekarang memang tidak ada yang disebut Rabi di
kalangan Kristen. Tapi bukan berarti lembaga Rabi musnah. Tidak! Di kalangan Kristen
ada orang-orang yang ingin disebut pendeta, minister, reverend, pengkhotbah,
dan segala tetek-bengek titel lain yang mencoba menempatkan dirinya di atas
manusia lain dan mengambil manfaat dari persembahan orang-orang Kristen untuk
memperkaya diri. Orang Kristen tidak hanya lupa pada sabda Yesus, tapi juga
lupa pada kritik Martin Luther terhadap hirarki dalam beragama. Luther
manghapuskan hirarki yang menindas bukan untuk melanggengkan sistem lama dengan
nama baru!
Lupakah kita pada sabda Yesus: “Barang siapa
terbesar di antara kamu, hendaklah dia menjadi pelayanmu” Ya. Kita lupa. Ketika
kita besar, yang terjadi adalah kita ingin dilayani. Naik mobil mewah, lalu
dijemput dengan penuh kehormatan munafik. Memasuki gereja megah, menerima salam
dan persembahan jemaat sehingga bisa ziarah ke tanah suci sesering mungkin.
Para pengkhotbah menjual Getsemani, Yerusalem, Danau Galilea, dan Bethlehem
melalui perusahaan tour and travelnya untuk bisa membangun rumah megahnya di kawasan
elit.
Yesus benci hirarki. Ingatlah Dia bersabda: “Barang
siapa meninggikan diri, ia akan direndahkan dan barang siapa merendahkan diri,
dia akan ditinggikan” (Mat. 23: 11). Bagi Yesus, manusia itu setara. Tidak
boleh ada kelas-kelas yang menempatkan manusia ke dalam lapisan-lapisan
tinggi-rendah sehingga yang tinggi bisa memeras si rendahan. Sama rata sama
rasa, itulah ajaran Yesus. Mengapa para pengkhotbah tidak mengkhotbahkan ayat
ini? Karena mereka teruntungkan oleh keadaan yang menempatkan mereka di
kedudukan lebih tinggi dari umat awam. Dari kedudukan itu mereka bisa
memperoleh previlage, penghormatan, rumah dinas, dan persepuluhan!
Para penindas adalah musuh Yesus. Lupakah kita pada
sabdanya: “Calakalah kamu, hai ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, hai
kamu orang-orang munafik, sebab kamu menelan rumah janda-janda sedang kamu
mengelabui mata orang dengan doa yang panjang-panjang. Sebab itu kamu pasti
akan menerima hukuman yang lebih berat” (Mat. 23: 14).
Di kalangan Kristen, para pemimpin jemaat merasa
tidak menjadi sasaran sabda ini karena mereka bukan ahli Taurat, bukan Farisi!
Keliru, mereka sungguh keliru. Para ahli Alkitab dan rohaniwan yang bekerja
sama dengan penindas atau membiarkan penindasan terjadi, atau malah melakukan
penindasan itu sendiri akan dihukum lebih berat. Farisi-farisi dalam kalangan
Kristen tidak sedikit. Mereka bekerja sama dengan penguasa lalim; dengan
kapitalis penindas kaum pekerja, menutup mata dan pura-pura tak tahu
penggusuran tempat-tempat orang miskin mencari nafkah dengan alasan bahwa
rakyat tertindas itu bukan Kristen. Sungguh picik. Persis seperti Farisi-farisi
penguasa Bait Allah.
Ingatlah Yesus bersabda: “Celakalah kamu, hai
ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, hai kamu orang-orang munafik, sebab
persepuluhan dari selasih, adas manis, dan jintan kamu bayar, tetapi yang
terpenting dalam hukum Taurat kamu abaikan, yaitu keadilan dan belas kasihan
dan kesetiaan” (Mat. 23: 23).
Setiap waktu kita bayar persepuluhan, tapi yang kita
bayarkan adalah dari hasil keringat-darah orang yang kita rampas haknya. Kita
bayar persepuluhan buat gereja, tapi kita menindas orang lain untuk
menumpuk-numpuk kekayaan kita sendiri. Kita bangga dengan bangunan gereja kita
yang megah sementara itu orang-orang yang bekerja pada kita hidup sengsara
tanpa tunjangan memadai sambil menyalahkan mereka sebagai orang bodoh dan
malas. Toh mereka bukan Kristen. Bodoh! Kalian yang bodoh. Yesus tidak pernah
bilang bahwa kita hanya harus peduli pada orang Kristen! Pesan Yesus adalah
kita tidak boleh menindas pada sesama manusia; bukan urusan-Nya sesama itu
Kristen atau bukan.
“Celakalah kamu, hai ahli-ahli Taurat dan
orang-orang Farisi, hai kamu orang-orang munafik, sebab cawan pinggan kamu
bersihkan sebelah luarnya, tetapi sebelah dalamnya penuh rampasan dan
kerakusan. Hai orang Farisi yang buta, bersihkanlah dahulu sebelah dalam cawan
itu, maka sebelah luarnya juga akan bersih” (Mat. 23: 25-26). Kita sering
mendengar para pengkhotbah menganjurkan orang-orang kaya yang memperoleh
kekayaannya dari memeras tenaga pekerja atau dari menipu kaum lemah, untuk
rajin bersedekah atau memberikan persepuluhan secara rutin agar bisa masuk
Sorga. Tetapi mereka tidak pernah mengkritik sistem yang membuat orang kaya itu
kaya dan yang miskin itu tetap miskin, yaitu penghisapan manusia atas manusia.
Persis seperti Farisi yang membersihkan pinggiran pinggan tapi membiarkan
perampasan dan kerakusan tetap bercokol di bagian dalamnya.
Bila sosialisme secara longgar diartikan sebagai
faham yang mengutamakan keadilan dan persamaan antarmanusia, dan bila
sosialisme adalah faham yang menghendaki dihapuskannya praktek-praktek
penghisapan manusia oleh manusia dan menjadikan kehidupan manusia tanpa
sekat-sekat kelas antara kaum pemilik dan orang tak-berpunya maka tidak perlu
ahli tafsir lulusan doktor teologi untuk sampai pada kesimpulan bahwa Yesus
adalah sosialis.
====
**Bacaan Lepas Seri Pengantar Sosialisme Papua.
**Bagi para pembaca sosialisme Marx, Poin menarik
terletak pada gagasan Marx tentang aktivitas praktis. Sekali diulangi, Marx
mengatakan bahwa apa yang benar adalah apa yang bisa dipraktekkan, bukan
sesuatu apa yang bisa diperdebatkan secara teoritis. Disini, Yesus dan Marx
berdiri pada titik yang persis sama. Dalam Mat. 7:21, Yesus mengatakan,
"Bukan setiap orang yang berseru kepada-Ku: Tuhan, Tuhan! akan masuk ke
dalam Kerajaan Sorga, melainkan dia yang melakukan kehendak Bapa-Ku yang di
sorga.". Yesus Nazaret mengontraskan aktivitas "berseru" dan
aktivitas "melakukan". "Berseru" sebagai sebuah aktivitas
mulut-kritis dipandang lebih rendah dari pada "melakukan" sebagai
aktivitas kritis-praktis. "Berseru" dengan intensitas yang tinggi
(Tuhan, Tuhan, dituliskan dua kali berulang), dianggap tak berguna dari pada
"melakukan". Mereka yang hanya bisa "berseru" malah digolongkan
Tuhan sebagai pembuat kejahatan (ay. 23).
Sumber:
Artikel FB: Victor Yeimo
0 komentar:
Post a Comment